Biar Lambat Asal Slamet

Biar Lambat Asal Slamet

Pepatah Jawa mengatakan alon-alon asal kelakon yang kira-kira artinya pelan-pelan asal kesampaian. Itulah yang terjadi dalam pendakian ke Gunung Slamet kali ini. Kalau dalam pendakian lain, saya biasanya berada di rombongan depan atau setidaknya di rombongan  tengah. Pada pendakian kali ini saya tercecer, berada di rombongan paling belakang.

Bukan karena menjadi sweeper, tetapi lebih karena kepayahan membawa tas keril yang bermuatan padat.

Oke, sebagai mukadimah, beberapa waktu yang lalu terdapat info mengenai trip Gunung Slamet.

Saya waktu itu masih menimbang-nimbang apakah ikut daftar trip ini atau tidak. Waktu pun dengan cepat berlalu, akhirnya saya memutuskan untuk daftar. Saya coba chat Bang Sultan sebagai salah satu Contact Person alias CP-nya. Jawabannya sudah bisa diduga, seat sudah full.

Saya coba minta tolong bang Sultan, barangkali bisa diikutkan dalam waiting list.

Mungkin memang sudah rezeki, secara tidak diduga ternyata ada peserta yang cancel. Info tentang hal tersebut bukan berasal dari Bang Sultan, tapi dari teman satu grup di trip Gunung Sumbing.

Bang Bani, teman saya tersebut, menginformasikan bahwa dirinya cancel dan mengumumkan hal tersebut di grup trip Gunung Sumbing.

Karena tak ingin lepas, saya langsung menyambar info tersebut dan dalam waktu tiga menit langsung transfer ke Bang Bani. Share cost yang sebenarnya Rp. 360.000, oleh Bang Bani biayanya didiskon menjadi Rp. 300.000 saja. Untuk masalah pembayaran, saya  masih konvensional dalam hal keuangan karena menggunakan Anjungan Tunai Mandiri (ATM), bukan mobile banking. Harap maklum ya hehehe…

Bang Bani menginformasikan bahwa karena saya menggantikannya, maka list peralatan dan logistik yang sebelumnya dibuat oleh dirinya, secara otomatis akan digantikan oleh saya.

Okelah, karena memang begitu peraturannya, saya ikut saja.

Saat saya cek, list yang dibuat oleh Bang Bani ternyata lumayan banyak, baik peralatan maupun logistik. Untuk peralatan yaitu :

  1. Tenda (karena saya menggantikan Bang Bani, maka saya nge-list tenda dengan kapasitas 4 orang, sesuai dengan tenda yang saya miliki).
  2. Nesting sebanyak 1 set.
  3. Gas sebanyak 1 piece.
  4. Trash bag sebanyak 5 piece.

Sedangkan logistik, sebagai berikut :

  1. Beras sebanyak 1 liter.
  2. Susu kental manis sebanyak 1 kaleng.

Sebagai informasi, peralatan dan logistik tersebut saya bawa sendiri, belum termasuk peralatan dan logistik pribadi seperti sleeping bag, jas hujan yang lumayan tebal, air mineral ukuran 1,5 liter sebanyak 3 botol dan ukuran 500 mililiter sebanyak 2 botol. Nah, kebayang kan gimana padatnya tas keril saya.

Selain tentang peralatan dan logistik, Bang Bani juga menginformasikan tentang kewajiban peserta untuk membuat Surat Keterangan Berbadan Sehat, minimal tiga hari sebelum keberangkatan.

 

Pada tanggal 30 Agustus 2018, saya pun minta izin kepada atasan di kantor untuk keperluan tersebut. Sekitar pukul 08.00 saya tiba di Puskesmas Jagakarsa, tempat pembuatan Surat Keterangan Berbadan Sehat. Sama seperti hari-hari biasa lainnya, pasien Puskesmas di tempat ini lumayan membludak. Pada saat itu ternyata ada gangguan teknis pada sistem komputerisasi, sehingga membuat proses pendaftaran dan pendataan pasien menjadi lebih lama.

Setelah menanti beberapa lama, sistem komputerisasi kembali normal dan akhirnya saya mendapatkan Surat Keterangan Berbadan Sehat.

 

Keberangkatan

Sesuai dengan jadwal, trip pun dimulai dari meeting point di Sekretariat BPJ pada tanggal 31 Agustus 2018 pukul 21.00. Tepat pada pukul 21.20, akhirnya bus menuju ke arah Jawa Tengah.

Dalam perjalanan, di sekitar daerah Bumiayu, Kabupaten Brebes, rupanya sedang ada perbaikan jalan, sehingga membuat macet arus lalu lintas. Pak Sopir pun beberapa kali melakukan manuver menyalip antrian dengan menggunakan lajur kanan. Mungkin karena tak sabar melihat panjangnya kemacetan saat itu.

Hingga sekitar pukul 04.30, kemacetan masih lumayan panjang. Akhirnya peserta trip melakukan shalat Shubuh di masjid terdekat. Sesusai shalat Shubuh, perjalanan dilakukan kembali. Hambatan kedua pun terjadi, kali ini jalur menuju basecamp pendakian terputus, juga karena sedang ada perbaikan jalan di daerah Karangreja, Kabupaten Purbalingga.

Setelah terjadi negosiasi dengan Pak Sopir bus, akhirnya diputuskan akan melanjutkan perjalanan dengan menyewa mobil minibus dan juga mobil pick up. Saat proses negosiasi dengan Pak Sopir bus, rupanya ada miskomunikasi antara Bang Sultan, rekannya dan Pak Sopir bus. Sebetulnya untuk trip ini bang Sultan rencananya menggunakan jalur Pantura, melewati daerah Tegal. Akan tetapi, mungkin karena punya ide sendiri atau memang terjadi miskomunikasi, rekan Bang Sultan tersebut menginformasikannya melalui jalur Selatan melalui Bumiayu, Brebes kepada Pak Sopir. Efeknya, selain rute lebih panjang dan juga terkendala macet di dua tempat. Walaupun untuk kemacetan ini adalah hal yang memang tidak terduga.

Akhirnya, dengan menggunakan mobil minibus dan juga mobil pick up, pada pukul 11.00, kami pun sampai di basecamp Gunung Slamet.

Selama satu jam, kami pun melakukan persiapan pendakian dan juga packing ulang tas keril terkait dengan peralatan dan logistik. Tak lupa, peserta juga mengisi perut sebelum melakukan pendakian Gunung Slamet.

Pendakian

Seperti biasanya, sebelum pendakian, dilakukan briefing oleh CP, dalam hal ini yaitu Bang Sultan. Tepat pukul 12.00, pendakian Gunung Slamet pun dimulai.

Rupanya jalur pendakian Gunung Slamet ini lumayan berdebu, walaupun tidak separah di Gunung Sumbing. Jalur pendakian lumayan membuat saya keteteran karena faktor tas keril yang padat tadi. Karena kelelahan, di salah satu titik pendakian, saya sempat ketiduran. Saya sih cuek saja kalau sampai ketiduran. Pokoknya gak usah jaim kalau berada di pendakian, kalau mengantuk, tidur saja hehehe…

 

Sesampainya di Pos 3, peserta pendakian beristirahat dan mengisi perut. Pada saat itu ada peserta yang mengalami cedera, sehingga akhirnya tidak melanjutkan pendakian dan mendirikan tenda di dekat warung Pos 3.

Menjelang Maghrib, saya dan enam peserta lainnya melanjutkan pendakian. Akhirnya kami bertujuh, melakukan pendakian dalam keadaan gelap. Dengan susah payah, akhirnya kami tiba di Pos 5, yang merupakan tempat camp trip ini, pada pukul 20.00. Praktis kami bertujuh menjadi peserta terakhir yang sampai di tempat camp tersebut. Pendakian dengan durasi delapan jam, benar-benar menguras tenaga.

 

Setelah sampai, rupanya ada tiga peserta perempuan yang belum kebagian tenda. Tenda saya pun akhirnya digunakan untuk tiga peserta perempuan tersebut. Sedangkan saya sendiri tidur menggunakan tenda peserta lainnya.

Sekitar pukul 04.00 pagi, peserta bangun untuk melakukan Summit. Saat itu, saya bersama dengan beberapa pendaki perempuan. Di salah satu titik, beberapa pendaki dari BPJ rupanya beristirahat dan sarapan. Saya pun memutuskan melanjutkan pendakian untuk bisa menyusul beberapa pendaki dari BPJ lainnya yang berada di depan.

 

Rupanya mendekati puncak, Gunung Slamet ini mempunyai jalur yang penuh dengan batu dan kerikil. Saat kaki melangkah satu langkah, bisa jadi malah merosot lagi. Sebuah tantangan tersendiri bagi saya.

Beberapa rekan dari BPJ rupanya beristirahat saat berada di jalur yang berbatu dan berkerikil ini. Saya dan Bang Irul, rekan pendaki sesama eks BPJ RT 9, serta beberapa pendaki lainnya akhirnya tiba di puncak pendakian pada pukul 07.00.

Setelah puas berfoto dengan beberapa pendaki BPJ yang tiba belakangan, saya kembali turun menuju ke tempat camp.

Karena jalur yang berbatu, secara tak sengaja saya menyenggol sebuah batu kira-kira seukuran dua kepalan tangan. Batu tersebut langsung meluncur ke bawah dengan cepat. Untungnya, saya sudah berteriak untuk memberitahu pendaki di bawah. Alhamdulillah, batu tersebut hanya mengenai sepatu orang tersebut. Walaupun begitu, saya tetap saja ada rasa bersalah…

 

Menuju basecamp

Setelah tiba di tempat camp, saya pun bertemu dengan rekan-rekan pendaki BPJ lainnya yang sedang istirahat dan makan siang.

Karena peserta pendakian telah makan siang di warung, maka oleh Bang Sultan diputuskan sisa logistik yang dibawa peserta tidak jadi diolah dan dimasak.

Dari hal tersebut, saya akhirnya menyerahkan sekaleng susu, seliter beras dan gasnya ke Bapak pemilik warung, daripada membawa kembali logistik tersebut ke basecamp.

 

Dalam perjalanan turun, saya akhirnya bertemu dengan peserta lainnya yaitu Agnes Fransiska. Setelah ngobrol kesana-kemari ternyata si Agnes ini adalah salah satu peserta yang dahulu mengikuti pelatihan blog di Kubbu. Pantesan saja, saya seperti familiar dengan namanya.

Saya, Agnes, Esii dan mas Opie (kalau namanya tidak salah) akhirnya berbarengan turun menuju basecamp.

Saat di Pos 1 kami bertemu dengan rekan BPJ lainnya yaitu Amalia Siwi dan seorang pendaki BPJ lainnya. Rupanya dia sedang bermasalah dengan kakinya sehingga perjalanannya terhambat. Di saat berada di Pos 1 inilah saya mual dan sedikit muntah. Entah karena masuk angin atau karena asam lambung naik. Gejala mau muntah sebenarnya sudah sejak turun dari puncak Gunung Slamet, saya sempat beristirahat beberapa menit untuk mengkondisikan agar tetap fit saat itu.

Setelah cukup beristirahat, kami berempat kembali melanjutkan perjalanan. Sedangkan Amalia Siwi berada di warung bersama rekan pendaki BPJ lainnya.

Hari saat itu sudah sore, pada salah satu tempat, ada beberapa tukang ojek sedang mangkal.

Dari kejauhan saya teriaki mereka “Ojek berapa?”

“Lima puluh ribu” jawab salah satu tukang ojek.

MAKASIH DAH!” teriak saya saat mendekat ke tukang ojek tersebut.

Saya sebenarnya cuma kepo saja dengan tarif ojek di gunung ini. Lima puluh ribu rupiah harga yang lumayan mahal untuk ukuran pendaki di Gunung Slamet, padahal medan dan jarak tidak sepadan dengan harga yang asal jeplak dari tukang ojek tersebut.

Perbandingan saya adalah ojek di Gunung Sumbing, mereka hanya memberikan tarif flat Rp. 25.000 dari atau menuju Pos 1. Padahal jalan yang dilalui lebih berat karena bebatuan. Selain itu, jarak juga lumayan jauh dari basecamp.

Saya cuma melintas saja melewati para tukang ojek tersebut. Hari pun mulai gelap, saat kami berempat melalui jalanan yang kanan kirinya merupakan tanaman sayuran.

Di tengah perjalanan saya meminta teman-teman untuk berhenti karena saya harus “nyetor”.

Saya pun mencari parit untuk melampiaskan panggilan alam tersebut. Lega rasanya kalau sudah buang hajat hahaha…

Agnes dan Esii akhirnya jalan duluan, sedangkan saya dan mas Opie bergerak perlahan saja. Oh ya, perlu diketahui sebetulnya mas Opie ini juga sudah kebelet untuk buang hajat tetapi ditahan-tahan oleh yang bersangkutan. Alasannya karena tidak terbiasa buang hajat di alam terbuka. Elegan banget pendaki yang satu ini…

Saat mendekati basecamp ada dua pendaki lain yang menyusul kami. Beberapa saat kemudian ada ojek melintas dengan membawa Amalia Siwi. Tak lama kemudian dua ojek lainnya juga melintas dengan penumpang Ibu Yoke dan suaminya. Rupanya Ibu Yoke (dan juga suaminya) ini juga ada masalah dengan kakinya, sehingga memutuskan untuk naik ojek menuju basecamp.

Akhirnya saya, mas Opie, dan dua pendaki lainnya tersebut menjadi peserta terakhir yang sampai ke basecamp dengan berjalan kaki.

Saat berada di dekat basecamp, saya kembali mual dan muntah. Entah ada masalah apa dengan badan ini, biasanya tidak pernah terjadi hal yang demikian.

 

Dalam pendakian ini saya coba menyenangkan diri sendiri, walaupun menjadi rombongan terakhir yang tiba di tempat camp maupun basecamp.  Pelan namun pasti…

Dalam perjalanan pulang dengan bus, kendala kembali menghambat perjalanan kami. Bermula dari ban kiri belakang bus yang bocor sehingga harus diganti dengan ban cadangannya. Rupanya tidak hanya sekali bus mengganti bannya tersebut, tetapi sebanyak tiga kali. Akumulasi waktu untuk pergantian ban, kurang lebih selama tiga jam lamanya. Sebuah rekor penggantian ban paling sering dan durasi penggantian paling lama dalam satu perjalanan.

 

Saat mobil berada di sekitar daerah Cikarang, secara tiba-tiba, ada suara cukup keras pada ban bagian kiri belakang dan bus terasa oleng. Rupanya ada bagian ban kiri belakang yang kembali bermasalah. Saya yakin banyak peserta trip yang saat itu kaget dengan olengnya bus saat itu. Lumayan menakutkan, karena bus dalam kecepatan sedang dan juga berada di jalan tol. Untungnya saat itu Pak Sopir sigap untuk menepikan busnya. Setelah dicek dan dilakukan sedikit perbaikan, perjalanan pun dilanjutkan kembali.

 

Rupanya perbaikan yang ada tidak cukup untuk mengatasi permasalahan ban kiri belakang tersebut. Beberapa kali terdengar suara yang keras di ban kiri belakang. Suasana yang benar-benar bikin deg-degan saat itu.

Bang Sultan yang sebetulnya kalem-kalem aja (karena sudah banyak tidur), akhirnya ngedumel juga karena masalah ban tersebut. Cuma saya gak tahu apakah keluhannya itu disampaikan ke sopir atau tidak.  Peserta sih terima beres saja, biar CP saja yang ngurus wkwkwk…

Bus akhirnya tiba di Cawang sekitar pukul 09.00, sebuah keterlambatan waktu yang lumayan banyak. Moral dari tulisan ini : tidak apa-apa terlambat sampai ke tempat tujuan, yang penting tetap Slamet

 

 

53 thoughts on “Biar Lambat Asal Slamet

  1. Kalau lihat foto²nya, banyak wajah² familiar yg kukenal.. ?
    Ternyata Slamet treknya ini lumayan berbatu dan berpasir juga ya. Seminggu habis dari Semeru saya juga diajak ke Slamet, tapi mau revovery dulu deh. Wkwkwkkwkw..

    1. Tracknya lumayan menantang, cuma menurut saya, Gunung Slamet jauh lebih aman dari Gunung Semeru.
      Iya, jangan maksain dalam satu minggu langsung tracking lagi, kecuali gunung yang rendah.

  2. Alhamdulillah.. Sampai juga dengan Slamet..
    Selalu ada cerita dari setiap perjalanan yg tujuan sebenarnya adalah pulang dengan selamat.. 🙂

  3. Mas Ris, selamat ya akhirnya bisa sampai ke puncak Slamet dan kembali dengan selamat.

    Sepertinya Summit track ke Slamet ini gak mirip sama Semeru ya. Berpasir dan berbatu. Naik satu turun dua.

    1. Iya begitulah, hanya saja saya belum sampai ke Mahameru karena faktor safety-nya. Waktu cukup di Kalimati saja, tidak mau ambil resiko untuk ke Mahameru.

  4. Mendaki gunung memang harus banyak persiapan dan perhitungan ya..
    Harus bisa mengendalikan dan mengenali kemampuan diri juga.
    Selamet ya sudah selamet mendaki gunung Selamet.

  5. Ini pendakian dengan beberapa catatan ya Mas Ris. Alhamdulillah dengan ‘kematangan’ seorang pendaki, dapat dilalui dengan ‘sempurna’. Next time, bolehlah nanjak2 bareng. …

  6. Halo Om Ris, pantesan carriernya kemaren segede kulkas ternyata isinya sebanyak itu, luar biasaah. Btw bener banget mending lambat asal selamet dah ya di trip pendakian Slamet kemaren, gapapa lambat di jalur pendakian dan di perjalanan pergi-pulang sampe Jakarta 😀

  7. Halo Om Ris, pantesan carriernya kemaren segede kulkas ternyata isinya sebanyak itu, luar biasaah. Btw bener banget mending lambat asal selamet dah ya di trip pendakian Slamet kemaren, gapapa lambat di jalur pendakian dan di perjalanan pergi-pulang sampe Jakarta 😀

  8. Track-nya wow, berdebu sekali jadi terlihat gersang ya. Dulu zaman aku masih aktif naik gunung ada 2 tipe pendaki, pertama tipe pemandangan yang jalannya lambat dan hobi lihat-lihat kiri kanan, kedua tipe summit yang modelnya ngebut. Apapun itu yang penting menikmati perjalanan dan prosesnya. Selamat kembali dari Slamet, Mas.

  9. Aaah jadi kangen naik gunuuuung… Kangen sama pengalaman dalam perjalanan pergi, naik, berkemah, turun, lalu pulangnya. Iri deh sama orang yang selalu sempat menjalani hobinya. 🙁

  10. Wagelasih Mas Ris baru tracking dari base camp jam 12 siang benar-benar siang, kalau saya kemarin tracking jam stengah 9 pagi sampe tempat camp di pos 7 jam stengah 6 sore karena kita jalan santai. Dan summit pun berangkat stengah 4 dari pos 7, stengah stengah 7 pagi baru sampe puncak. Slamet track summitnya mirip2 semeru si, cuma kalo semeru pasirnya lebih banyak dibanding slamet yang masih banyak batunya.

    1. Udah gak memungkinkan naik lagi, karena faktor malam hari dan udah capek juga. Mana rombongan terakhir pula, ibarat sepak bola, jadi juru kunci…

  11. Berpasir dan berbatu, terus ada batu yang jatuh. Berasa nonton adegan di 5 cm haha
    Mas Ris ini tiap najak bawaannya selalu banyak banget deh, kebayang pegelnya tuh pundak. Tapi Alhamdulillah kembali dengan slamet.

  12. Kayaknya tasnya lebih berat nih dari Mas Ris ya. Hahaha.
    Itu, kok kocak2 sih ya mas yang mau setor, pendaki yang elegan. Btw kalo misal aku naik gunung dan kebelet pun aku ga bakalan bisa tuh menuntaskan hal tsb di parit gitu. Hahaha.
    Hemm, aku merasakan gimana deg2annya tuh pas ada masalah ban yg berkali2 itu. Yang penting slamet ya mas kayak nama gunung ?

  13. Slamet memeng track nya dasyat yaa apalagi pas mau naik puncak yg tracknya pasir,kerikil,tanah. ada pantangannya juga konon katanya jangan ngecamp di pos 4 hihihi. Terakhir nanjak ke Slamet 2 tahun lalu , jadi rindu..

  14. Pas baca, sumpah, ngingetin waktu nanjak ke selamet tahun lalu bareng bpj. Jam tanganku jatuh di bus, sedih. Hehe

    Nanjak ke selamet emang benar butuh perjuangan. Pas turun, aku kepleset dua kali, telapak tangan ketekuk. Kaki pada bengkak dan cidera parah. Seminggu jalan ke kantor dengan terseok.

    Bayangkan aja, berangkat kerja dr Bekasi-Gatsu. Naik kereta lagi.

    But, finally’s done.

    Jadi kangen nih, boleh nih mas, kalo nanjak ke semeru/rinjani ajak2.

    1. Wah tangannya keselo gak tuh?
      Boleh nih kapan-kapan, saya pingin juga Rinjani. kalo Semeru saya sudah pernah, walaupun tidak sampai Mahameru. Karena memang dilarang oleh pengelolanya.

  15. Wow drama pendakiannya banyak juga ya, Bang. Bersyukur ya tetap slamet sampai tiba di puncak Slamet dan kembali di Jakarta.

    Btw, enggak kebayang sih gimana beratnya keril dengan bawaan-bawaan super itu.

  16. Waduh Bang ada-ada saja ya hambatan di perjalanannya, tapi alhamdulillah “slamet”. Tepat banget judul tulisan, pembukaan dan akhir tulisannya. Nyambung semua! Makin kece nih Bang Ris 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *