Debut pendakian tektok di Bongpalem
Sudah sejak lama saya menanti trip yang punya cita rasa berbeda, salah satunya pendakian tektok. Akhirnya kesempatan itu datang juga, Backpacker Jakarta (BPJ) menge-share pendakian tektok ke Gunung Bongkok, Parang dan Lembu (Bongpalem) di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.
Setelah berkomunikasi dengan Mbak Retno, salah satu Contact Person (CP) dari trip tersebut, didapat informasi bahwa seat masih tersedia.
Berdasarkan informasi dari beberapa sumber, Mbak Retno ini memang salah satu pendaki yang mumpuni dan sering menangani trip BPJ. Suaminya sendiri merupakan member dari BPJ dan baru kali ini saya mendapatkan kesempatan emas untuk menjadi peserta di tripnya mbak Retno.
CP lainnya yaitu bang Sultan, sudah saya ketahui orangnya karena pernah satu trip, yaitu saat trip BPJ ke Cianjur. Saya pun masuk ke grup WA tripnya dan tentunya segera melakukan transfer pembayaran demi mengamankan posisi.
Sebagai informasi, saya melakukan pembayaran trip tanggal 24 Januari 2018 sedangkan tripnya sendiri berangkat tanggal 24 Maret 2018 dinihari, sehingga ada jeda waktu dua bulan lamanya. Waktu yang sebenarnya sangat cukup untuk melakukan persiapan fisik pendakian.
Pada saat itu, sebenarnya ada perubahan struktur organisasi di tempat saya bekerja, hal yang biasa terjadi di instansi pemerintah. Saya pun termasuk yang pindah bagian ke tempat yang baru. Sudah barang tentu, saya harus beradaptasi dengan hal-hal baru. Cukup mengasyikkan karena bisa bertemu satu tim dengan orang-orang baru dan dengan suasana baru pula.
Kesibukan di tempat kerja baru lumayan menguras waktu, sehingga latihan fisik teratur yang semula saya rencanakan yaitu jogging, menjadi buyar tidak karuan.
Awalnya saya menjadwalkan bisa jogging setidaknya seminggu dua kali, namun hal itu tidak terealisasi. Praktis, saya cuma sempat jogging tiga kali menjelang trip. Karena hal itu, saya pun tidak terlalu memaksakan fisik saat pendakian nanti.
Tibalah di hari H, dengan meeting point di Sekretariat BPJ, Cawang, satu per satu peserta berdatangan. Akhirnya peserta yang berjumlah 26 orang berangkat sekitar pukul 01.00 dinihari dengan dua minibus.
Perjalanan dari kota Jakarta ke kota Purwakarta berjalan mulus, namun ketika mendekati lokasi gunung Parang, muncul hambatan. Ruas jalan yang rusak, tidak bisa dilalui oleh kedua minibus yang sarat penumpang. Otomatis beberapa kali penumpang turun dari minibus agar kendaraan bisa melalui jalan rusak tersebut. Hal yang wajar karena untuk keamanan kendaraan itu sendiri dan bagi saya pribadi memang kendaraan tersebut terasa cukup mewah untuk melalui jalan yang rusak.
Akhirnya kami sampai di pos pendakian Gunung Parang sekitar pukul 05.00. Setelah beristirahat, kedua CP melakukan briefing pendakian kepada peserta trip.
Selesai briefing, pendakian pun dimulai pada pukul 06.09. Rupanya tak jauh dari pos pendakian Gunung Parang, terdapat jembatan bambu yang dibuat sedemikian rupa untuk memudahkan pendakian.
Di beberapa titik, jembatan bambu tersebut berdampingan dengan tebing batu sehingga terlihat cukup unik.
Pendakian ke puncak Gunung Parang saya tempuh sekitar dua jam, namun beberapa peserta mencapainya lebih lama. Hal yang wajar karena kondisi fisik peserta yang berbeda-beda.
Setelah semua peserta berhasil mencapai puncak Gunung Parang dan berisitirahat yang cukup, tibalah waktunya untuk turun gunung.
Kebetulan saya dan beberapa rekan pendaki lainnya ada di barisan depan saat turun gunung.
Insiden langka
Dalam beberapa pendakian gunung sebelumnya, saya sudah mengalami beberapa kali terpeleset, bahkan kram di kedua kaki. Namun hal langka saya alami di Gunung Parang ini. Bermula saat perjalanan turun gunung, sampai suatu ketika saat saya harus menuruni lempengan batu, terjadi sedikit insiden.
Posisi saya saat itu menuruni lempengan batu tentunya membuat pandangan mata turun ke bawah. Secara tak sengaja, seorang rekan pendaki menyenggol batu yang mengakibatkan batu tersebut meluncur ke bawah. Saya yang sedang berkonsentrasi mencari pijakan kaki, hanya mendengar ”sesuatu menggelinding”.
Ternyata sebuah batu mengenai kepala saya, darah pun mengalir membasahi wajah. Saya pun berusaha tenang dan tidak panik. Mas Dimas, rekan sesama pendaki berinisiatif mengguyur kepala saya dengan air mineral. Mbak Desytri, rekan pendaki lainnya akhirnya ikut memberikan bantuan membersihkan luka dengan tisu basah serta pertolongan pertama.
Mas Ardi, rekan pendaki yang menyenggol batu, meminta maaf atas hal tersebut. Saya pun bisa memakluminya karena itu memang murni kecelakaan.
Informasi yang saya terima dari mas Ardi, batu yang tadi meluncur sebesar kepalan tangan orang dewasa. Saya cukup bersyukur karena hanya batu ukuran kecil saja yang mendarat di kepala, kalau ukurannya lebih besar tentu berbeda cerita. Lagi pula menurut mbak Desytri lukanya hanya sobek kecil.
Banyak orang yang kondisinya lebih parah daripada saya. Contohnya saja Giorgio Chiellini, bek tangguh Juventus dan timnas Italia, sudah beberapa kali kepalanya berdarah-darah karena benturan fisik dengan pemain dari tim lawan. Bahkan di internet pun bertebaran foto-foto saat kepalanya “bocor” di sana-sini. Atas dasar itulah yang membuat saya tetap tenang dan bersyukur.
Setelah mendapatkan pertolongan dari rekan-rekan pendakian, kami melanjutkan perjalanan turun gunung. Bang Sultan yang berada di rombongan belakang rupanya bergegas menyusul kami karena mengetahui ada banyak tetesan darah di lempengan batu. Kami pun bertemu saat saya dan beberapa rekan pendaki lainnya sedang beristirahat. Setelah mendapatkan penjelasan dari mbak Desytri bahwa hanya luka kecil saja di kepala saya dan saya pun menjelaskan semuanya aman terkendali.
Tidak ada rasa pusing dan hal yang mengganggu terkait dengan luka di kepala saya. Sehingga saya tidak mengalami hambatan dalam perjalanan turun Gunung Parang. Jarak tempuh dari puncak Gunung Parang ke pos pendakian sekitar 1,5 jam.
Saat di pos pendakian, saya sempat menanyakan ke penjaga pos barangkali ada dokter di sekitar tempat tersebut. Rupanya dokter berada di Puskesmas dan letaknya cukup jauh. Apalagi saat itu hari Sabtu, masih tanda tanya apakah Puskesmasnya buka. Saya pun mengurungkan niat untuk ke dokter, lagi pula pertolongan pertama yang diberikan rekan-rekan pendaki sudah mencukupi untuk kondisi saat itu.
Sambil menanti pendaki lainnya mencapai pos pendakian, saya makan siang dengan mi instant yang saya beli di pos pendakian. Setelah makan siang, seperti biasa kantuk pun menyerang dan akhirnya saya pun terlelap hingga hampir satu jam.
Setelah seluruh peserta pendakian Gunung Parang selesai beristirahat, dua minibus mengantar hingga dekat pos pendakian Gunung Bongkok.
Sebelumnya, saya pernah mendaki Gunung Bongkok ini dengan beberapa teman di BPJ 9. Sehingga cukup mengenali medan pendakian Gunung Bongkok ini.
Gunung Bongkok sendiri memiliki track becek dan licin sehingga cukup menyulitkan bagi para pendaki.
Di salah satu titik pendakian, pendaki harus melewati celah batu yang sempit. Saat itu, saya yang hanya memakai tas backpack ukuran sedang saja cukup kerepotan untuk melewati celah tersebut. Hal itu karena saat bergerak naik, rupanya tas di punggung tertahan oleh batu. Hal yang sulit jika pendaki menggunakan tas carrier, karena pasti butuh kerjasama tim untuk bisa melewati celah batu tersebut.
Saat di puncak Gunung Bongkok, saya meminta bantuan bang Sultan untuk memberi tambahan obat merah antiseptic ke luka saya dan kemudian diberi plester. Saat itu, saya hanya khawatir terjadi infeksi sehingga perlu obat merah antiseptic tambahan.
Lama waktu saya mencapai puncak Gunung Bongkok adalah satu jam. Namun ketika turun ke pos pendakian, saya memerlukan waktu 72 menit. Medan yang becek dan licin membuat waktu untuk turun menjadi lebih lama dibandingkan waktu untuk ke puncak Gunung Bongkok.
Saat mencapai di posko pendakian, kondisi pakaian pendakian apalagi sepatu para pendaki penuh lumpur di sana sini. Beberapa rekan pendaki rupanya tidak ikut mendaki Gunung Bongkok dan memilih berada di posko pendakian, pantas saja pakaian dan sepatunya kinclong.
Setelah bersih-bersih dengan ala kadarnya dan ditambah dengan asupan makan di warung dekat posko, dua minibus mengantar kami ke posko pendakian Gunung Lembu.
Seusai beristirahat sebentar, pendakian ke Gunung Lembu pun dimulai pukul 20.27. Jalur Gunung Lembu sangat bagus untuk pendaki pemula.
Ada track yang menanjak dan ada pula yang menurun tetapi relatif lebih mudah dibandingkan dengan track Gunung Parang apalagi Gunung Bongkok. Saat itu ada beberapa kelompok pendaki yang mendirikan tenda di sejumlah titik pendakian. Saya sampai di puncak Gunung Lembu sekitar pukul 22.15. Rupanya puncak Gunung Lembu adalah tebing batu yang bisa dijadikan tempat untuk berfoto dengan latar belakang lampu di kota.
Setelah cukup beristirahat di puncak Gunung Lembu, pada pukul 23.00 kami memutuskan turun ke posko pendakian. Kondisi track, karena malam hari membuat saya dan rekan-rekan pendaki lain ekstra berhati-hati.
Akhirnya kami tiba di posko pendakian Gunung Lembu pada pukul 00.12. Tak lama kemudian, dua buah minibus membawa kami ke sebuah rumah singgah di Purwakarta. Rumah singgah ini cukup nyaman untuk dijadikan tempat istirahat para pendaki, apalagi ditambah dengan air yang mencukupi. Harap maklum, karena pendaki kalau melihat air untuk mandi seperti anugerah yang tak terkira.
Selama sekitar dua jam lamanya saya beristirahat di rumah singgah tersebut. Sebelumnya saya sudah menginformasikan ke mbak Retno bahwa saya harus segera ke Jakarta pagi itu juga karena ada hal yang harus dikerjakan. Pilihan transportasi yang cepat untuk sampai ke Jakarta adalah kereta api.
Ternyata beberapa teman juga pulang lebih awal ke Jakarta dan berangkat ke Jakarta dengan menggunakan kereta api dari Stasiun Purwakarta pukul 05.30.
Itulah sedikit kisah saya tentang pendakian tektok di Bongpalem. Debut pendakian tektok yang memberikan pengalaman berbeda.
Tak lupa terima kasih saya ucapkan untuk Mas Dimas, mbak Desytri dan bang Sultan atas bantuan pertolongan pertamanya, Mbak Retno untuk rumah singgahnya serta rekan-rekan pendaki tektok Bongpalem.
23 thoughts on “Debut pendakian tektok di Bongpalem”
Keren Bang. Jalurnya itu luicinnn
Iya betul, celana dan sepatu saya seperti habis ke sawah hehehe
Tjakep, jd inget lagi hahaa
Semua baik-baik saja hahaha…
Keren euy Mas Ris tektok bongpalem.. Tentang insiden tsb. semoga tidak ada side efek di kemudian hari ya.. Aamiin
Alhamdulillah, sejauh ini baik-baik saja kok mbak. Sudah saya periksakan ke tenaga medis, luka sobek kecil dan gak perlu dijahit.
Ini kenapa dinamain tektok sih Mas Ris? Ga ngerti.. tektok aja 3 gunung, kalo ga tektok?? hahahaha…
Tektok, maksudnya naik dan turun gunung tanpa nge-camp. Gunungnya kan ukuran kecil mbak, bukan di atas 3000 mdpl.
waaah tulisannya bikin kangen ketiga gunung tersebut, mas! ketemu hal mistis nggak di sana? haha.
btw, bersyukur banget ya habis “insiden langka” masih tetap fit & bisa terus nanjak gunung berikutnya. keren pengalamannya!
Hal gaib udah ada porsinya, jangan kebanyakan nonton program mistis di TV wkwkwk
nggak suka nonton TV. saya punya pengalaman ‘diketawain’ di Lembu, makanya nanya siapa tau ketemu juga haha.
Di grup WA trip Bongpalem, ada yang cerita pengalaman mistis di Gunung Lembu saat itu. Saya gak begitu takut, bahkan dalam perjalanan turun dari Lembu saya menyusul tim di depan dengan seorang diri. Alhamdulillah, gak ada yang aneh-aneh di jalan. Buat saya lebih menakutkan ketinggian. Makanya gak berani foto-foto di tebing atau bebatuan yang curam baik di Gunung Parang maupun di Bongkok hehehe…
Baca pengalaman mas ris jadi pengen nanjak gunung parang, bongkok dan lembu juga. Tapi tidak tek-tokkan ya mas.
Pengalaman insiden membuat kita jadi lebih hati-hati dan waspada
Iya tetap hati-hati dan waspada. Mendakipun dalam satu tim minimal ada 3 orang, untuk mengantisipasi kalau ada yang cedera, sakit dan hal lainnya.
Widih gokil Mas Ris kecium batu, ko kepala bocor harus disamakan sama Chellini, lebih keren Nemanja Vidic Mas wkwkwkwk.
Lebih banyak Chiellini masbro, dia kayak udah langganan cedera di kepala.
Jangan lupa bang, Chiellini pundaknya jg pernah digigit ama Suarez..
#komenantimainstream
Iya betul, kirain Mike Tyson aja yang suka gigit-menggigit.
Insiden langkanya bikin degdegan yang baca, kalo aku pasti panik banget lihat darah ngalir gitu. Mas Ris strong sekali setelah insiden masih tetep bisa tektok gunung.
Btw kayanya Ardi yang waktu itu ngetrip bareng aku ke Dieng deh.
Kalau cewek bukannya sudah biasa liat darah hehehe…
Saya kok ikutan ngilu pas baca insidennya, Mas Ris. Tapi jadi curious juga sih nyobain nanjak parang dan lembu.
Boleh mbak dicoba, dari satu per satu dulu, jangan sekaligus hehehe…